Langit menghitam perlahan
Sepertinya mentari kelelahan
Menutup semua warna yang mewarnai kehidupan
Begitu juga dengan perasaan
Menghitam, dingin, dan terlupakan...
Ketika aku buka jendela kamar, angin menyusup sampai kepersendiaan. Kemudian angin menerpa halaman-halaman diary ku yang sejak tadi ku biarkan terbuka. Membuka halaman yang tidak ingin aku baca lagi. Masa lalu yang begitu membuatku tertekan, ketakutan dan kehilangan.
Angin seperti mengajak ku untuk bargabung, menari di udara, membawa apa saja yang dia suka. Lalu kemudian menghantamkan dengan keras ke tanah sesuka hati mereka. Kaki ku sudah akan melompat, menerima ajakan angin, tetapi seseorang mencegahku melakukan itu. Tetapi aku memberontak, terus memberontak sampai aku tidak ingat apa-apa lagi.
“sayang, bangun sayang.” Suara lembut meyadarkanku.
“kamu mimpi lagi?” katanya lagi.
Air mata sudah mengalir dipipiku.
“aku mimpi itu lagi ma...” kataku samar
“mungkin itu karena kamu tidur di sini, ayo bangun. Pindah ke kasur.” Mama menuntunku menuju kasur. Aku tertidur saat menulis diary. Kemudian beliau memberiku segelas air putih. Aku masih menangis. Ketakutan menyergap hatiku.
“mau minum obat?”
“tidak ma, nanti juga baikan.”
“tapi kamu terlihat ketakutan sayang. Minum obat penenang dulu yah.” Aku tidak menolak, setelah selang beberapa menit, aku merasa mengantuk dan kemudian tertidur.
Paginya, kepalaku terasa pening. Badanku panas. Mama menyuruhku untuk tidak pergi ke sekolah dulu. Kemudian mama menelepon orang yang sering disebut psikiater. Setelah ditelepon, tiga puluh menit kemudian orang itu datang. Sebenarnya aku tidak mau bertemu dengan orang itu. Orang itu selalu mengajak ku untuk tenang dan kemudian aku kembali ke masa lalu yang tidak ingin aku ingat.
Setelah dia bertanya yang tidak begitu penting, aku mulai merasak kantuk yang tidak bisa ditahan. Kemudian,...
dilla berdiri saat motor yang sedang dikemudikan oleh seseorang melaju dengan kencang. Mambelah angin pegunungan. Serasa terbang, dilla merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, sesekali tertawa dan berteriak.
“aku terbang!!” dilla berteriak seperti orang yang kerasukan. Aku seperti mendapat sengatan dari teriakan saudara kembarku, aku menambah kecepatan laju sepeda motor. Meliuk-liukan badan motor saat ditikungan. Begitu pula dengan jalan yang naik, dan lurus, ku lakukan dengan kecepatan yang sama. Tetapi dilla tidak mencegahku. Karena dilla pun tidak sadar. Sangat menyenangkan sekali. Kegilaan kita semakin menjadi-jadi saat melihat tikungan tajam di depan.
“siap la? Kita akan beratraksi!!” teriakku
“ayo!! Maju!!” dilla berteriak senang.
aku mulai meliuk-liukan badan motor seperti pembalap, dilla bertepuk tangan di belakang. Kecepatan mulai bertambah, semakin bertambah. Dilla memeluk tubuhku, sepertinya dilla sedikit ngeri.
“kau takut la? Aku sedikit ngeri.”
suara dilla terdengar samar-samar, namun masih terdengar. kami mulai menikung, kaki kami hampir menyentuh aspal. dilla semakin mempererat pelukannya. Saat akan menggerakkan motor ke sisi yang lain, tanganku tidak kuat untuk menahan beban motor yang dinaiki oleh kami.
Motor oleng, tangan dan kaki kami bergesekan dengan aspal. Perih dan sakit. Tapi aku berusaha untuk menyeimbangkan motor agar tetap melaju dengan lurus. Tetapi sepertinya tidak bertahan lama. aku sudah tidak kuat mempertahankan motor, lalu kulepaskan tanganku. Aku menjatuhkan diri dan berguling-guling diaspal. Sedangkan motor masih melaju, saat tubuhku berguling-guling, sepertinya aku terbentur. Mataku berkunang-kunang. Tapi ada satu yang aku lupakan. Di mana dilla? Tadi dia masih memelukku. Aku berusaha berdiri dan berjalan terseok-seok. Ternyata dilla sudah lebih dahulu terjatuh saat kaki dan tangan kami bergesekekan dengan aspal. Diila jatuh telungkup. Wajah bagian kiri dilla terluka karena bergesekan dengan aspal. Darah segar menutupi wajah cantiknya. Aku menangis histeris. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku memeluk dilla, membisikkan kalimat supaya dia bertahan. Tetapi, aku juga terluka. Pandanganku semakin kabur, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika aku sadar, aku sudan berada di rumah sakit. Aku mencari-cari diila. Saat aku tanyakan pada mama. Mama hanya menangis, sepertinya beliau sedih sekali. Aku takut dilla meninggalkanku. Dn benar saja, papah membritahuku kalau dilla sudah tidak ada. Aku syok mendengarnya. Maafkan aku dilla... maafkan aku...
Aku menangis sejadi-jadinya. Berteriak seperti orang gila. Dilla..........................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar